Intelektualitas/kecerdasan otak tidak lebih penting daripada perasaan karena perasaan justru memegang peranan /pengaruh yang dominan dalam sikap, reaksi dan tindakan yang dilakukan.
Hidup yang lebih menekankan Yang/intelektualitas/prinsip pria menjadi kurang peka, tidaklah demikian jika yang diutamakan Ying/perasaan/prinsip wanita maka dengan membiarkan perasaan ini muncul akan membangkitkan beragam motivasi dalam hidup sehingga membuat lebih bergairah dalam menjalani hidup, lebih jujur serta realistis dalam menyikapi situasi. Memang dalam hal ini akan menyebabkan timbulnya kesulitan (misal depresi/marah), tetapi melalui itu akan terjadi pengalaman mistik-religius yaitu pada saat terjalin persatuan afektif dengan Tuhan. Namun demikian memang dapat dikatakan bahwa agama apapun itu takut menghadapi perasaan-persaan. Persatuan dengan Tuhan adalah persatuan yang penuh afeksi, bukan intelektualitas.

Tuhan Yesus sendiri selama hidupnya juga menunjukkan bagaimana Dia mengungkapkan perasaanNya yaitu saat sedih, takut dan marah (menangis di makam Lazarus, berdoa di Getsemani, melihat perdagangan di Kenisah). Disini kita bisa melihat bahwa Kitab Suci ingin menyapa dan menggerakkan perasaan kita, sebab melalui hati, Allah berbicara dan menyapa, jadi betapa pentingnya peranan dalam diri kita. Dengan perasaan orang lebih dapat berekspresi, penuh pertimbangan untuk mengatakan tidak/ya, tidak dapat ditekan oleh orang lain. Tanpa perasaan hidup terasa lapar dan haus, tidak dapat memberi reaksi/menerima kenyataan yang terjadi serta orang-orang disekitarnya. Reaksi  terhadap perasaan tidak sama pada setiap orang, unik dan berbeda namun memiliki corak umum. Adapun perbedaan dan keunikan itu dipengaruhi oleh alam bawah sadar sebagai akibat pengalaman dari masa lampau. Reaksi perasaan lebih mudah dialami oleh wanita karena mereka memiliki intuisi/perasaan yang lebih kuat dari pada pria yang lebih mengandalkan otak/intelektualitas. Namun demikian sebenarnya keduanya adalah penting dan sama-sama dibutuhkan karena akan lebih baik jika reaksi perasaan kemudian juga disusul dengan reaksi otak. Perasaan adalah fakta yang tidak dapat disangkal, harus dialami, ibarat energi yang tercipta dari dalam diri sendiri. Sesuatu yang tidak boleh ditekan/disimpan supaya bisa mendapatkan ketenangan, tetapi dalam mengekspresikannya harus dengan sikap yang dewasa.

Untuk dapat mengendalikan perasaan dengan cara yang dewasa maka sangat penting untuk dapat mengenal perasaannya. Untuk dapat mengenali bagaimana persaannya memerlukan beberapa latihan yang dapat dipelajari secara bertahap setiap hari. Ada panduan buku yang dapat dilihat untuk melakukan latihan ini. Latihan-latihan yang dilakukan sangat penting untuk pertumbuhan kedewasaan dan sangat relevan bagi pembinaan hidup rohani. Sebagai pengikut Kristus seringkali perbuatan yang dilakukan tidak cocok dengan semangat Injil, entah sadar atau tidak egoisme selalu kuat menguasai, bahkan meskipun percaya pada kuasa dan pemeliharaanNya setiap saat namun kegelisahan akan hal-hal kecil sekalipun tetap menguasai. Jika sungguh-sungguh melihat kedalam diri maka akan banyak terungkap konflik perasaan. Dalam hal ini pikiran/reaksi otak dapat berperan untuk mengontrol perasaan, meskipun tidak selalu mudah dan berhasil, oleh karena itu harus tetap disertai mempercayakan diri terhadap cinta kasih Tuhan dan sesama.

Otak kita bagaikan gudang raksasa yang merekam dan menyimpan rangkaian peristiwa yang pernah kita alami dan suatu saat ingatan-igatan itu akan dibangkitkan kembali yang kesemuanya berkaitan dengan perasaan. Setelah ingatan muncul maka timbulah penilaian, yang menyebabkan rasa enak/tidak maupun sakit/gembira, yang mengenai urat saraf sehingga memberi signal ke otak dan akan diteruskan ke seluruh bagian tubuh hingga menimbulkan reaksi kimia yang disebut perasaan/emosi. Perasaan merupakan daya yang menggerakkan sehingga mampu merespon situasi disekitarnya, hal ini nanti akan sangat berpengaruh pada kondisi kejiwaan dan kesehatan seseorang jika perasaan/emosi tadi tidak diungkapkan, baik itu dalam bentuk gembira ataupun sedih.

Perasaan harus diungkapkan, banyak cara untuk mengungkapkan perasaan, antara lain doa, melalui ini kita bisa mengekspresikan rasa senang ataupun marah, karena Tuhan Maha baik dan bersedia mendengar semua ucapan syukur serta keluh kesah kita, sehingga dengan perasaan yang dapat diungkapkan ini maka kita akan sampai pada kesadaran kita, dimana nantinya otak akan dapat mengadakan penilaian atas perasaan kita. Setelah itu banyak kemungkinan sikap yang akan diambil, mungkin acuh tak acuh (represi), mengikuti, mulai bertanya. Hanya perbuatan yang dapat dinilai secara moral, sedangkan perasaan tidak, yang dapat dilakukan hanya menilai positif/negatif dari perasaan itu. Banyak menahan perasaan apalagi sejak masih muda dapat menghambat proses kedewasaan. Namun pengungkapannya juga harus bijaksana dan disiplin karena jika lepas kontrol akan membuat diri sebagai orang yang dangkal, kemudian dapat juga melalui pertimbangan sehingga dapat menjwab ya/tidak pada perasaan. Banyak cara untuk melatih diri mengungkapkan perasaan yang disajikan dalam buku panduan. Lebih baik jika memperhatikan cara bicara dan cara mendengar, hal ini akan dapat menyadari penyebab perasaan itu tanpa menyalahkan orang lain, karena perasaan tidak dapat dibenar salahkan ataupun dimintakan maaf, dinilai logis/tidak logis.

Sikap dalam mengontrol perasaan, antara lain ketenangan dan menilai perasaan secara dewasa, yaitu pertama menyadari kemudian menerima kenyataan. Dengan demikian dapat menjalankan tanggungjawab hidup yang harus dijalankan dan mencari waktu yang tepat untuk dapat melepaskan perasaannya, sehingga tidak ada yang dikorbankan karena perasaan yang sedang dialami tersebut.
Dengan menyadari perasaan kita dapat menangani perasaan sekaligus menangkap sesuatu tentang diri kita, karena perasaan mengungkapkan tentang kebutuhan, keinginan serta dambaan kita. Namun demikian perasaan tak pernah realistis sehingga reaksi otak penting untuk berperan juga.

Tidak seorangpun dapat langsung menyebabkan timbulnya emosi dalam diri kita, karena hal itu sudah ada tersimpan dalam struktur diri kita, sehingga kita juga tidak boleh menilai/mengadili reaksi emosional orang lain. Sikap yang mungkin timbul akibat perasaan kita, yang pertama supresi, yaitu sikap mengontrol perasaan dengan ketenangan dan menilainya secara dewasa, yang kedua adalah represi yaitu dengan menekan perasaan, seolah-olah baik-baik saja meskipun hatinya memberontak sehingga dapat menimbulkan banyak gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani.
Kebutuhan mendasar manusia adalah kemampuan untuk mencintai diri sendiri meskipun hal ini tidak mudah untuk dilakukan, dan hati adalah lambang diri sendiri itu. Orang yang hidupnya dipenuhi keharusan cenderung menganggap dirinnya hina dan orang seperti ini mempunyai harga diri yang sakit dan menempatkan Tuhan bukan sebagai Abba melainkan sebagai pribadi yang selalu menuntut. Dalam hubungan dengan Tuhan setia, taat tetapi melakukan semuanya dengan terpaksa sebagai kewajiban dan tidak memberi kesempatan pada Tuhan untuk mengerjakan karya cinta kasihNya dalam hidup mereka.

Banyak orang yang mengaku diri mereka Kristen tetapi hatinya tidak dapat mempercayai bahwa Tuhan menciptakan mereka segambar dengan diriNya. Selalu merasa diri adalah sampah, meskipun tak seorangpun terlahir dengan harga diri yang jelek karena Tuhan menciptakan manusia secara baik dan harga diri yang utuh. Rasa harga diri yang rendah merupakan bentukkan masa lampau, yang dikemudian hari menimbulkan penilaian dan penafsiran yang salah tentang diri sendiri.
Mencintai diri sendiri agar dapat mencintai Tuhan adalah penyangkalan diri, akan tetapi kita tidak akan dapat menyangkal diri kalu kita belum sepenuhnya mengenal diri kita sendiri, belum mempunyai harga diri yang kuat, dan kita tidak akan menyerahkan diri pada Tuhan karena tidak tahu apa yang dapat diberikan. Oleh karena itu kita tidak akan mampumenyerahkan diri kalau belum mampu mengenal Tuhan dan mencinta diri kita.

Cinta diri dan egoisme merupakan dua hal yang berbeda, karena cinta diri berarti menerima diri apa adanya dengan segala kemampuan dan keterbatasan sedangkan egoisme adalah orang yang belum mempunyai aku dan terus menerus mencari aku, dan ini adalah penyakit.
Injil berlaku relevan sampai sekarang dan untuk dapat menghayatinya kita harus dapat mencintai diri terlebih dahulu. Adalah hak setiap orang untuk dicintai dan diperhatikan, dan jika kita tidak mempunyai harga diri, marilah mulai berusaha membangun rasa harga diri kita.
Langkah yang dapat dilakukan untuk membangun rasa cinta diri, yaitu menyadari dan menerima kenyataan diri apa adanya, kemudian mngontrol ungkapan diri dengan bahasa yang dapat mempengaruhi perasaan diri. Mulai menghargai tubuh sendiri, meneliti bakat diri, berdoa dan membiarkan cinta Tuhan menyapa, mengenang kisah-kisah cinta dalam kehidupan sendiri, hidup di masa sekarang, hentikan mengusahakan agar diri dicintai, jangan mengejar hal-hal yang tinggi kalau masih lapar dengan hal yang mendasar, dengan demikian iman merupakan relasi dengan Tuhan secara pribadi, jawaban kepada Tuhan secara pribadi serta penyerahan diri pada Tuhan secara bebas hingga terjalin persekutuan denganNya. Perasaan adalah tempat persekutuan dengan Tuhan, lewat sentuhan perasaan kita ungkapkan jawaban kita padaNya, dengan pertolongan akal budi kita dapat memahamiNya, meskipun hanya lewat perasaanlah kita dapat menjalin relasi denganNya. Perasaan harus diungkapkan secara dewasa sehingga kita menjadi manusia yang aktif dan dinamis, terus membina iman dan mencintai diri sebagaimana adanya sehingga dapat mencintai Tuhan. Selalu memandang diri berharga sebagai ciptaanNya dan karena itu merasa pantas diri adalah persembahan yang hidup yang berkenan dihadapanNya.





Ini merupakan selayang pandang makalah pertama yang saya tulis sebagai pengganti tes akhir semester pertama dalam matakuliah ANTROPOLOGI yang diampu oleh Dr Kees de Jong. 


BAB I
PENDAHULUAN
Ritual njamasan pusaka merupakan salah satu cara merawat benda-benda pusaka, benda kuno dan benda bersejarah, terutama yang berupa tosan aji seperti keris dan tombak. Dalam tradisi masyarakat Jawa, njamasan pusaka menjadi suatu kegiatan spiritual yang cukup sakral dan hanya dilakukan dalam waktu tetentu saja. Njamasan pusaka dilakukan hanya sekali dalam satu tahun yakni pada bulan Suro (bersamaan bulan Islam: Muharam) khususnya persis di malam tanggal satu Suro atau juga dapat dilakukan  pada hari Jumat Keliwon atau Selasa Keliwon di bulan Suro. Suro adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang diyakini sebagai bulan keramat, penuh larangan, dan pantangan[1]. Njamasan pusaka ini termasuk dalam kegiatan ritual budaya yang dinilai sakral karena mempunyai makna dan tujuan yang luhur. “Njamasan” berarti memandikan, mensucikan, membersihkan, merawat dan memelihara tosan aji dari kotoran, debu, jamur, dan sisa minyak pusaka yang sudah tengik[2]. Sebagai wujud rasa menghargai peninggalan sejarah atas karya adiluhung (mulia/agung)  generasi pendahulunya kepada generasi berikutnya. Njamasan bertujuan supaya orang yang memiliki pusaka tetap mempunyai jalinan rasa, ikatan batin, terhadap sejarah dan makna yang ada di balik benda pusaka. Sehingga njamasan pusaka tidak hanya sekedar membersihkan dan merawat secara fisik benda pusaka, tetapi yang lebih penting adalah memahami segenap nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam benda-benda pusaka. Njamasan pusaka ini dilakukan pada bulan Suro, karena bagi orang jawa bulan ini merupakan bulan yang paling sakral. Di mana orang Jawa menghayati bahwa di bulan ini harus lebih banyak melakukan mawas diri, evaluasi diri, meningkatkan sikap eling dan waspada. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan asal mulanya, sedangkan waspada bisa diartikan sebagai sikap yang selalu cermat dan terjaga terhadap segala godaan yang menyesatkan. Pada kenyataannya masyarakat jawa menghayati bahwa di bulan Suro ini sering terjadi suatu peristiwa yang memiliki makna mendalam. Bisa suatu peristiwa yang sangat membahayakan, bisa pula suatu peristiwa yang penuh berkah. Semua tegantung “laku” (penghayatan) masing-masing individu. Yang mau prihatin, eling dan waspada tentu akan selamat dan mendapat berkah Tuhan. Sebaliknya yang ceroboh, gegabah, lupa diri dan sembrono akan beresiko besar karena berada dekat dengan segala macam bahaya. Maksud dan tujuan njamasan pusaka pada bulan satu Suro diyakini untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan kentraman[3]. Sebab, bagi sebagian masyarak Jawa, benda-benda tersebut dianggap memiliki kekuatan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan dan apabila tidak dirawat, mereka percaya “isi” yang ada di dalam benda pusaka tersebut akan pudar atau hilang sama sekali, dan hanya berfungsi sebagai senjata biasa.

----------------------------------------------------------

BAB II
Proses Njamasan
Benda pusaka sebagai hasil karya budaya kuno yang memiliki nilai sejarah tinggi karena di buat pada masa lampau yang cukup lama, bahkan berabad-abad lalu. Pastilah benda pusaka tersebut membutuhkan pemeliharaan atau perawatan secara khusus agar tetap dapat dilestarikan. Hal tersebut dilakukan sekaligus sebagi wujud rasa hormat atas karya budaya itu. Meskipun menjamas benda pusaka atau tosan aji (keris dan tombak) adalah bagian dari pemeliharan benda-benda pusaka  tersebut,  akan tetapi ritual njamasan di lakukan dengan cara khusus. Menjamas dapat dilakukan oleh perseorangan maupun dilakukan oleh, suatu perkumpulan atau bahkan suatu lembaga/institusi tertentu dan terutama dilakukan oleh sebuah kerajaan seperti : kerajaan Solo dan kerajaan Yogyakarta.
Sebelum seluruh rangkaian upacara dalam proses njamasan dilakukan maka terlebih dahulu tosan aji atau benda pusaka direndam dengan air kelapa hijau selama 24 jam. Untuk menghilangkan noda-noda minyak dan karat perlu dibersihkan menggunakan sikat lembut dengan cairan buah lerak (buah berbusa yang dapat digunakan sebagai sabun) kemudian gosokkan dengan jeruk nipis yang telah dibelah hingga terlihat bersih putih[4].
Ritual Njamasan yang dilakukan oleh perkumpulan, institusi atau kerajaan dilakukan dengan cara yang khas, yakni semua yang terlibat dalam ritual diwajibkan mengenakan pakaian adat Jawa. Semua yang bertugas adalah kaum laki-laki, mereka semua mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon atau iket. Ada dua bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dalam peroses menjamas. Bagian yang petama sebelum pelaksanaan teknis njamasan tersebut terlebih dahulu akan dilaksanakan berbagai persiapan yang di wujudkan dengan memanjatkan doa-doa agar seluruh proses njamasan berjalan lanjar dan berkenan di hadapan sang pencipta. Dalam kesempatan itu bersama-sama dengan masyarakat yang hadir dilakukan perjamuaan sederhana untuk semakin mempererat ikatan kebersamaan dan persaudaraan sebagai sesama insan Tuhan.
  Tradisi njamasan pusaka pada umumnya memerlukan berbagai uborampe (peralatan) yang tidak sedikit. Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan untuk menjamas benda-benda pusaka yakni, air kelapa hijau, cairan buah lerak, bunga setaman yang terdiri dari beberapa macam bunga (bunga mawar putih, mawar merah, kanthil, kenanga, melati), minyak wangi yang berbahan dasar minyak kayu cendana, atau bunga melathi, atau bahan berbagai bunga, belimbing wuluh atau jeruk nipis, baki atau nampan, dupa atau ratus atau kemenyan, kain kafan atau kain mori cukup ½ meter-1 meter, tikar dan sikat lembut.
Setelah seluruh bahan dan peralatan untuk menjamas tersedia maka tahap awal yang mesti dilakukan adalah menyirami/ memandikan tosan aji dengan air kembang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Air kembang tersebut berfungsi untuk semakin membersihkan dan mulai memberi keharuman. Langkah selanjutnya tosan aji dikeringkan dengan kain dan sedikit dipanasi di atas bara arang yang sudah diberi dupa atau ratus atau kemenyan (yang mengandung belerang), berfungsi mensterilkan dari bakteri-bakteri perusak. Selanjutnya pekerjaan membersihkan dan memberi larutan  warangan (sejenis bahan kimia yang terdapat di toko-toko bahan kimia) pada bilah keris atau tosan aji lainnya[5], itulah proses mewarangi. Warangan berfungsi untuk membersihkan permukaan besi tosan aji dan mempertajam pamor atau guratan estetis batu meteor dan inti baja pada benda pusaka (terutama keris dan mata tombak) akan menjadi tampak jelas dan terlihat kontras. Sebelum tosan aji dimasukan kedalam warangkanya atau di bungkus dengan kain putih. Benda pusaka tersebut atau tosan aji diberi minyak dan pewangi lalu diletakan berjajar di atas kain mori yang telah dipersiapkan agar minyak tersebut lebih cepat kering. Setelah kering, tosan aji atau benda pusakan di masukan kembali kedalam warangka kemudian kembali di simpan. Berakhirlah proses ritual njamasan.

-------------------------------------------------------

BAB III
Refleksi
Sebagai anggota Gereja Kristen Jawa, penulis merasa perlu mengungkapkan proses pergumulan Gereja Kristen Jawa dalam keterkaitannya antara iman dengan budaya Jawa.  Dalam sejarah awal kehadiran kekeristenan di pulau Jawa melalui para penginjil (utusan zending)  dari berbagai negara terutama Eropa, seperti dari Jerman dan Belanda, orang Jawa yang menjadi kristen diharuskan meninggalkan seluruh tradisi Jawa. Mereka tidak boleh mengenakan pakaian Jawa dan semua kebudayaan  Jawa yang di pandang  jelek atau buruk dan berbau sinkritisme. Situasi tersebut berlangsung cukup lama hingga gereja-gereja di Indonesia khususnya di tanah Jawa memiliki kemandirian teologia. Pergumulan ini dirasakan cukup lama oleh jemaat Gereja Kristen Jawa. Namun setelah  Gereja Kristen Jawa memiliki pokok-pokok ajaran gereja sebagai buah kemandirian teologia maka Gereja Kristen Jawa memiliki pandangan yang baru terhadap budaya Jawa. Gereja Kristen Jawa berkomitmen untuk melestarikan budaya Jawa.
Menurut Gereja Kristen Jawa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan manusia dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan yang paling moderen, meliputi segala kegiatan manusia, sistem nilai dan hasilnya. Kebudayaan meliputi pembuatan perkakas-perkakas dan cara-cara penggunaannya, bahasa dan adat-istiadat, agama dan kepercayaan, penetapan nilai-nilai dan pengubahannya, ilmu pengetahuan dan filsafat, serta aneka ragam keseniaan. Kebudayaan sebagai hasil cipta dan karya manusia dalam melaksanakan tugas kebudayaan yang diberikan Allah sejak penciptaan tidak terlepas dari cedera manusiawi. Oleh karena itu kebudayaan mengandung kelemahan dan penyimpangan. Sikap orang percaya terhadap kebudayaan adalah menghargai kebudayaan, bersikap kritis, dan memperbaiki kesalahan. Tujuannya adalah agar kebudayaan dapat dipulihkan arahnya bagi kemuliaan Tuhan dan penghargaan harkat hidup seluruh ciptaan[6]. Demikian juga di ungkapkan dalam tata gereja dan tata laksana GKJ bahwa dalam pelaksanaan Pemberitaan Penyelamatan Allah, Gereja dapat menerima budaya atau adat istiadat dengan prinsip trasmutasi makna yakni, mengeluarkan makna religius yang bertnggung jawab dengan injil dan memberi makna religius yang baru sesuai dengan injil.  
Berdasarkan pemahaman terhadap budaya seperti yang tertulis dalam pokok-pokok ajaran gereja dan GKJ tersebut, maka dalam hal ini  dapat ditarik kesimpulan bahwa GKJ sangat berkepentingan dalam merawat dan menjaga benda-benda pusaka atau tosan aji melalui ritual njamasan. Dalam hal ini Gereja Kristen Jawa memandang benda-benda pusaka atau tosan aji sebagai buah kebudayaan manusia yang perlu di lestarikan, bukan dari sudut pandang isotoris (kekuatan gaib/magis yang ada di dalam benda pusaka) melainkan  dari sudut pandang eksotoris (penghargaan terhadap seni budaya yang dapat dilihat dan dirasakan melalui panca indra kita).






[1] H.Karkono K.P “Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam”, hal 215.
[2] Bambang Harsrinuksmo “Ensiklopedi Keris”,hal 321.
[3] Murtjipto “Fungsi dan Makna Siraman Pusaka”, hal 91.
[4] Ki Hudoyo.D “Keris, Daya Magic,Manfaat, Tuah, Misteri”, hal 62
[5] Bambang Harsrinuksmo “Ensiklopedi Keris”,hal 282.
[6] Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa.2005, hal 56-60.



semoga bermanfaat ya ^^
saya persilahkan apabila ingin memberi tanggapan maupun kritik 

Terimakasih

(Resensi Buku Pak Aris)

SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS BAGI ANAK-ANAK
(Telaah Atas keikutsertaan Anak-anak Dalam Perjamuan Kudus)


Menarik kalau kita mengikuti pergumulan gereja sepanjang masa dalam kaitannya dengan pelaksanaan perjamuan kudus khususnya bagi anak-anak.
Bagaimana gereja menempatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus secara dinamis. Buku kecil karya Pen Widaryanto yang berjudul SAKRAMEN PERJAMUAN BAGI ANAK-ANAK membantu kita untuk dapat mengikuti pergumulan dan dinamika gereja-gereja dalam penerimaan perjamuan kudus anak.

Secara lebih khusus dilingkungan Gereja Kristen Jawa, melalui buku ini kita akan berdialog dan bergumul dalam kaitannya dengan Perjamuan Kudus bagi anak-anak dan kita pasti akan mendapatkan satu pencerahan melalui pembahasan dalam buku ini.
Dalam buku tersebut disampaikan bahwa kata sakramen hampir tidak ditemukan/dijumpai, jika ada itupun tidak mengandung nada religius. Istilah lain yang digunakan untuk sakramen adalah Perjamuan Kudus, sedangkan Gereja Katholik menyebutnya dengan misa/ekaristi. Perjamuan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus lebih menekankan kebersamaan semua lapisan, golongan masyarakat, tua, muda maupun anak-anak.

Sejak gereja perdana sampai masa Bapa-Bapa Gereja dan abad pertengahan, perbedaan pendapat/pandangan hal perjamuan kudus anak terus berlangsung dinamis. Perbedaan pandangan antara Thomas Aquinas dan Agustinus yang merupakan kedua tokoh gereja itu sampai hingga saat ini menjadi kiblat sekaligus gambaran pergumulan gereja dalam perjamuan kudus bagi anak. Agustinus mengijinkan sedangkan Thomas Aquinas tidak memperbolehkan. Baik Martin Luther, Calvin, John zwingli, tokoh-tokoh reformasi menekankan perlunya persiapan Khusus bagi setiap orang untuk dapat mengikuti perjamuan kudus,  termasuk bagaimana anak-anak dipersiapkan secara sungguh-sungguh agar layak menerima/ikut perjamuan kudus.

Penetapan perjamuan kudus dilingkungan GKJ dilandasi pada ajaran gereja dan gereja-gereja Gereformeerd di Belanda maupun berdasarkan katekismus Heidelberg sebagai hukum gereja yang dibawa dari para zending, dimana perjamuan kudus menjadi sarana suci yang hanya boleh diikuti oleh orang yang dipandang  sudah layak dan dewasa secara rohani, namun demikian sejak 1996 gereja memperbarui pemahaman tentang sakramen yang dipahami sebagai alat pemeliharaan iman tentunya bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak, oleh karena itu GKJ semakin membuka pintu bagi anak-anak untuk terpelihara imannya melalui perjamuan kudus.

GKJ mulai mengembangkan pelayanan sakramen perjamuan kudus bagi anak sebagai tanggung jawab gereja dalam pemeliharaan iman terhadap seluruh warganya. Tanggung jawab orang dewasa dan orang tua dalam ikut mempersiapkan dengan sungguh-sungguh anak-anak agar dapat mengikuti perjamuan kudus sebagaimana orang dewasa mempersiapkan secara khusus untuk mengikuti perjamuan kudus melalui pendadaran/pengujian diri. Frekuensi pelaksanaan perjmuan kudus tidak lagi 3 bulan sekali melainkan 2 bulan sekali, hal ini dalam kaitannya dengan pemeliharaan iman warga jemaat.

Resensi:
Dinamika pergumulan gereja dalam kaitannya dengan perjamuan kudus anak belum berakhir hingga saat ini. Tradisi gereja dan pemikiran Bapa-Bapa gereja terus menjadi pertimbangan-pertimbangan yang dipertahankan baik oleh mereka yang mendukung perjamuan kudus anak maupun yang tidak, sebab ketika satu tadisi dan pemikiran telah terhayati dan melekat dalam hidup bergereja hingga turun-temurun beberapa generasi, inilah yang membuat situasi menjadi rumit. Bagaimana memahami proses peralihan dan standard kelayakan seseorang untuk berhak menerima perjamuan kudus, jika standar kelayakan seseorang untuk berhak menerima perjamuan kudus. Jika standarnya adalah kesucian hidup bukankah anak-anak lebih banyak belum ternodai oleh perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Bukankah lebih banyak orang dewasa yang tercemar hidupnya oleh karena ketidak disiplinan hidup rohani mereka. Namun demikian jika standarnya adalah wawasan dan pengetahuan tentang iman kepada Kristus tentulah anak-anak belum mampu megerti dan memahami hal pengetahuan tentang hidup beriman itu. Dalam hal ini kita perlu dengan sadar mempersiapkan generasi yang  bisa membuka diri terhadap pemahaman dan tradisi baru yang membuka pintu bagi perjamuan kudus bagi anak-anak. Artinya semua pihak harus menyadari bahwa semua proses perubahan yang melibatkan anak masuk dalam perjamuan kudus tidak boleh saling memaksakan. Bagi yang setuju anak ikut dalam perjamuan kudus maupun yang tidak, sama-sama membuka proses dialog itu dalam semangat persekutuan dan kasih Kristus. Dengan demikian penghayatan terhadap makna perjamuan kudus yang dilakukan pada masa sekarang ini semakin lebih terarah pada pelaksanaan perjamuan kudus yang dilakukan dan diperintahkan oleh Kristus. Bagi kita sekarang ini yang terutama wacana dan pelaksanaan perjamuan kudus anak, mesti dilakukan melalui penyiapan dan sosialisasi yang sematang-matangnya, baik bagi warga dewasa maupun anak agar pelaksanaan perjamuan kudus semakin mempererat jalinan cinta kasih antar umat beriman dalam sebuah gereja. Dengan demikian bisa dan tidaknya umat menerima anak dalam perjamuan kudus dikembalikan kepada setiap gereja masing-masing sesuai dengan keberhasilan sosialisai dan pendekatan kepada seluruh jemaat.  





Termenung dalam penantian...

Merenung dalam kesepian... 

Berangan menunggu jawaban Tuhan...


Ingin berlalu saja meski hampa...

Menetapkan berhenti pun penuh tanya...

Ingin ku menatap mencari jawab...

Namun kujuga takut...


Seperti yang kumau pun belum pasti itu yang sebenarnya kuingini...

Berbeda jawabnya pun aku belum tentu 

terima....

Manakah jawab dari tanyaku, yang benar aku mau???

Inikah sebenarnya...

kunyaman dalam tanya...

meski ku tak suka...

Siapkah terima yang nyata....

oh entahlah...

hanya inilah sejujurnya...

aku masih suka penuh tanya...

teka teki hidup tetap mewarna...



titik letak hidup kita bagaikan serpihan debu yang hinggap di atas debu...


samar terlihat pun tidak...

bagai sekilat bayang melintas nyata pun tidak...

rapuh dan hampir tak tampak...

tapi apakah yang melilit dan membebat serpihan ini...?

seolah kuasa dan maha selalu ada...

merasa terbaik dan terpenting disetiap persinggahan...

bermahkotakan keangkuhan seolah tak akan tumbang...

membabat semua hanya untuk sendiri...

entah itu kasih, entah itu materi...

tak pernah menyadari...

hadir hanya setitik debu kotor yang tak mampu memberi noda apalagi arti...

hanya kasih Illahi yang mampu membuat terlihat dan berarti...

semoga teraih walau harus merintih...

merintih sedih melepaskan genggaman nafsu diri yang melekat duniawi...






Kehidupan seseorang dalam hal hubungannya dengan Tuhan atau Kepercayaan akan Sang Pencipta, dapat dilukisan seperti sebuah pohon. Kehidupan sebuah pohon dimana akar, batang, ranting daun dan buah merupakan satu rangkaian yang saling mengkait satu sama lain.

Demikian juga tentang religius, spiritualitas, iman, theologi dan agama, semua saling berkaitan seperti tumbuhnya sebuah pohon yang sempurna yang memiliki akar, batang, ranting, daun dan buahnnya. Religion/religius yang digambarkan sebagai akar merupakan pusat kehidupan atau pondasi kehidupan dimana kehidupan itu berlangsung. Melalui akar/religius tersuplailah hal-hal mendasar yang menunjang kehidupan  yang dijalani sehingga tumbuh, hidup, kuat dan berkembang. Religius ini bersifat luas tak berbatas dan sangat pribadi bagi setiap individu. Sesuatu yang ada pada individu dimanan ada dan bertumbuhnya tidak dipengaruhi atau tergantung pada sesuatu hal/faktor-faktor yang lain, akan tetapi keberadaannya sangat mempengaruhi aspek-aspek/ faktor-faktor yang lain bagi individu itu sendiri.
Batang pohon yang digambarkan sebagai spiritualitas seseorang, merupakan sesuatu yang sudah hidup, yang kuat dan berkembang. Spiritualitas/batang pohon ini sudah melaksanakan fungsi kehidupan secara baik, taat, saleh dan benar sesuai yang sudah menjadi keyakinan akan hal-hal yang diterimannya yang menjadi kepercayaannya yaitu hidup yang benar dan saleh. Spiritualitas/batang ini mengaplikasikan kesalehan hidup itu secara konkret melalui karya hidup yang nyata, seperti batang pohon yang terus bertumbuh maka spiritualitas juga terus menerus memperbarui hidup dengan mengoreksi dan memperbaiki karya kehidupan yang dilakukan. Ketergantungan kehidupannya pada akar/keterikatan hidup yang erat antara batang degan akar/ religius dengan spiritualitas, merupakan sebuah hubungan yang indah dan tanggung jawab serius karena spiritualitas menekankan pertanggung jawaban atas segala karya kehidupannya di hadapan Tuhan Sang sumber kehidupan. Namun demikian hubungan ini sangat intim dan menyenangkan, bukan sesuatu yang menakutkan/tidak menyenangkan.

Kehidupan keimanan dilambangkan sebagai ranting, yaitu bahwa spiritualitas yang baik, yang terus menerus berkembang dan diperbaharui menuju kesempurnaan ibarat batang pohon yang menghasilkan ranting-ranting. Dengan tumbuhnya ranting-ranting ini maka akan memperkuat dan menolong batang untuk terus tumbuh berkarya dengan lebih kuat dan luas. Iman/ranting melekat kuat dengan spiritualitas/batang, dengan keyakinan yang kuat ini maka ranting/iman melaksanakan apa yang diyakini dimana ia melekat selama ini yaitu spiritualitas/batang tersebut dengan melakukan /mewujudnyatakan apa yang menjadi tujuan utama dari spiritualitas itu.
Dengan adanya akar, batang dan ranting atau religius, spititualitas dan iman maka tumbuhlah daun/agama. Daun/agama ini merupakan sarana/tempat/symbol dalam mengekspresikan kehidupan rohani yang tumbuh dan diyakininya. Daun/agama memberi identitas pada kerohanian itu sendiri/memberi ciri khas yang khusus  pada pohon yang tumbuh. Daun/agama memberi identitas pada keimanan yang ada, bahkan tidak hanya memberi ciri khas yang khusus serta identitas tetapi juga memperindah/menarik. Dengan daun/agama yang memberi identitas serta daya tarik yang indah maka akan dapat semakin memperluas karya-karya nyata yang dilakukan hingga menghasilkan apa yang menjadi tujuan utama dari adanya kehidupan itu sendiri. Daun/agama membantu mengolah segala sesuatu yang sudah dihasilkan ataupun yang diserap oleh semua  unsur sehingga menghasilkan energi kehidupan untuk terus berkembang.

Akar, batang, ranting dan daun/ religius, spiritualitas dan agama, semua tumbuh melekat menjadi satu kesatuan dengan melaksanakan fungsinya masing-masing dalam karya nyata melalui seluruh unsur kehidupan, maka berbuahlah/ menghasilkan buah/ theologi. Dengan semua unsur yang ada membuat semakin hidup/semakin berhikmat yang kemudian mendorong untuk lebih bisa memberi sesuatu yang lebih baik dan lebih baik lagi hingga mencapai kesempurnaan. Buah/theologi akan terus belajar bagaimana berinteraksi yang benar, yang baik hingga bertumbuh menjadi buah yang baik dan matang dan bisa berfungsi/bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan. Untuk dapat mencapai kesempurnaan itu buah/theologi akan terus mempelajari/memberi pembelajaran  bagaimana mengenal, tahu, kemudian  membangun relasi yang baik dengan Sang khalik yang diyakini, diimani dan menjadi kelekatannya. Buah harus menerima suplay/asupan makanan yang  diberikan dan diolah melalui akar  batang, ranting dan daun untuk dapat menjadi buah  yang baik, matang dan sempurna sehingga bisa bermanfaat dan berfungsi sebagaimana seharusnya.

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa kelima unsur diatas adalah saling berkaitan satu dengan yang lain, tidak dapat terpisah-pisah sehingga apa yang menjadi pokok utamanya/tujuan utamanya dapat tercapai. Satu sama lain saling mempengaruhi untuk ada, hidup, bertumbuh, berbuah dan menjadi sempurna. Satu sama lain berdiri saling mendukung menuju kesempurnaan.


Diberdayakan oleh Blogger.