NJAMASAN

0 Comments
Ini merupakan selayang pandang makalah pertama yang saya tulis sebagai pengganti tes akhir semester pertama dalam matakuliah ANTROPOLOGI yang diampu oleh Dr Kees de Jong. 


BAB I
PENDAHULUAN
Ritual njamasan pusaka merupakan salah satu cara merawat benda-benda pusaka, benda kuno dan benda bersejarah, terutama yang berupa tosan aji seperti keris dan tombak. Dalam tradisi masyarakat Jawa, njamasan pusaka menjadi suatu kegiatan spiritual yang cukup sakral dan hanya dilakukan dalam waktu tetentu saja. Njamasan pusaka dilakukan hanya sekali dalam satu tahun yakni pada bulan Suro (bersamaan bulan Islam: Muharam) khususnya persis di malam tanggal satu Suro atau juga dapat dilakukan  pada hari Jumat Keliwon atau Selasa Keliwon di bulan Suro. Suro adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang diyakini sebagai bulan keramat, penuh larangan, dan pantangan[1]. Njamasan pusaka ini termasuk dalam kegiatan ritual budaya yang dinilai sakral karena mempunyai makna dan tujuan yang luhur. “Njamasan” berarti memandikan, mensucikan, membersihkan, merawat dan memelihara tosan aji dari kotoran, debu, jamur, dan sisa minyak pusaka yang sudah tengik[2]. Sebagai wujud rasa menghargai peninggalan sejarah atas karya adiluhung (mulia/agung)  generasi pendahulunya kepada generasi berikutnya. Njamasan bertujuan supaya orang yang memiliki pusaka tetap mempunyai jalinan rasa, ikatan batin, terhadap sejarah dan makna yang ada di balik benda pusaka. Sehingga njamasan pusaka tidak hanya sekedar membersihkan dan merawat secara fisik benda pusaka, tetapi yang lebih penting adalah memahami segenap nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam benda-benda pusaka. Njamasan pusaka ini dilakukan pada bulan Suro, karena bagi orang jawa bulan ini merupakan bulan yang paling sakral. Di mana orang Jawa menghayati bahwa di bulan ini harus lebih banyak melakukan mawas diri, evaluasi diri, meningkatkan sikap eling dan waspada. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan asal mulanya, sedangkan waspada bisa diartikan sebagai sikap yang selalu cermat dan terjaga terhadap segala godaan yang menyesatkan. Pada kenyataannya masyarakat jawa menghayati bahwa di bulan Suro ini sering terjadi suatu peristiwa yang memiliki makna mendalam. Bisa suatu peristiwa yang sangat membahayakan, bisa pula suatu peristiwa yang penuh berkah. Semua tegantung “laku” (penghayatan) masing-masing individu. Yang mau prihatin, eling dan waspada tentu akan selamat dan mendapat berkah Tuhan. Sebaliknya yang ceroboh, gegabah, lupa diri dan sembrono akan beresiko besar karena berada dekat dengan segala macam bahaya. Maksud dan tujuan njamasan pusaka pada bulan satu Suro diyakini untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan kentraman[3]. Sebab, bagi sebagian masyarak Jawa, benda-benda tersebut dianggap memiliki kekuatan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan dan apabila tidak dirawat, mereka percaya “isi” yang ada di dalam benda pusaka tersebut akan pudar atau hilang sama sekali, dan hanya berfungsi sebagai senjata biasa.

----------------------------------------------------------

BAB II
Proses Njamasan
Benda pusaka sebagai hasil karya budaya kuno yang memiliki nilai sejarah tinggi karena di buat pada masa lampau yang cukup lama, bahkan berabad-abad lalu. Pastilah benda pusaka tersebut membutuhkan pemeliharaan atau perawatan secara khusus agar tetap dapat dilestarikan. Hal tersebut dilakukan sekaligus sebagi wujud rasa hormat atas karya budaya itu. Meskipun menjamas benda pusaka atau tosan aji (keris dan tombak) adalah bagian dari pemeliharan benda-benda pusaka  tersebut,  akan tetapi ritual njamasan di lakukan dengan cara khusus. Menjamas dapat dilakukan oleh perseorangan maupun dilakukan oleh, suatu perkumpulan atau bahkan suatu lembaga/institusi tertentu dan terutama dilakukan oleh sebuah kerajaan seperti : kerajaan Solo dan kerajaan Yogyakarta.
Sebelum seluruh rangkaian upacara dalam proses njamasan dilakukan maka terlebih dahulu tosan aji atau benda pusaka direndam dengan air kelapa hijau selama 24 jam. Untuk menghilangkan noda-noda minyak dan karat perlu dibersihkan menggunakan sikat lembut dengan cairan buah lerak (buah berbusa yang dapat digunakan sebagai sabun) kemudian gosokkan dengan jeruk nipis yang telah dibelah hingga terlihat bersih putih[4].
Ritual Njamasan yang dilakukan oleh perkumpulan, institusi atau kerajaan dilakukan dengan cara yang khas, yakni semua yang terlibat dalam ritual diwajibkan mengenakan pakaian adat Jawa. Semua yang bertugas adalah kaum laki-laki, mereka semua mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon atau iket. Ada dua bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dalam peroses menjamas. Bagian yang petama sebelum pelaksanaan teknis njamasan tersebut terlebih dahulu akan dilaksanakan berbagai persiapan yang di wujudkan dengan memanjatkan doa-doa agar seluruh proses njamasan berjalan lanjar dan berkenan di hadapan sang pencipta. Dalam kesempatan itu bersama-sama dengan masyarakat yang hadir dilakukan perjamuaan sederhana untuk semakin mempererat ikatan kebersamaan dan persaudaraan sebagai sesama insan Tuhan.
  Tradisi njamasan pusaka pada umumnya memerlukan berbagai uborampe (peralatan) yang tidak sedikit. Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan untuk menjamas benda-benda pusaka yakni, air kelapa hijau, cairan buah lerak, bunga setaman yang terdiri dari beberapa macam bunga (bunga mawar putih, mawar merah, kanthil, kenanga, melati), minyak wangi yang berbahan dasar minyak kayu cendana, atau bunga melathi, atau bahan berbagai bunga, belimbing wuluh atau jeruk nipis, baki atau nampan, dupa atau ratus atau kemenyan, kain kafan atau kain mori cukup ½ meter-1 meter, tikar dan sikat lembut.
Setelah seluruh bahan dan peralatan untuk menjamas tersedia maka tahap awal yang mesti dilakukan adalah menyirami/ memandikan tosan aji dengan air kembang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Air kembang tersebut berfungsi untuk semakin membersihkan dan mulai memberi keharuman. Langkah selanjutnya tosan aji dikeringkan dengan kain dan sedikit dipanasi di atas bara arang yang sudah diberi dupa atau ratus atau kemenyan (yang mengandung belerang), berfungsi mensterilkan dari bakteri-bakteri perusak. Selanjutnya pekerjaan membersihkan dan memberi larutan  warangan (sejenis bahan kimia yang terdapat di toko-toko bahan kimia) pada bilah keris atau tosan aji lainnya[5], itulah proses mewarangi. Warangan berfungsi untuk membersihkan permukaan besi tosan aji dan mempertajam pamor atau guratan estetis batu meteor dan inti baja pada benda pusaka (terutama keris dan mata tombak) akan menjadi tampak jelas dan terlihat kontras. Sebelum tosan aji dimasukan kedalam warangkanya atau di bungkus dengan kain putih. Benda pusaka tersebut atau tosan aji diberi minyak dan pewangi lalu diletakan berjajar di atas kain mori yang telah dipersiapkan agar minyak tersebut lebih cepat kering. Setelah kering, tosan aji atau benda pusakan di masukan kembali kedalam warangka kemudian kembali di simpan. Berakhirlah proses ritual njamasan.

-------------------------------------------------------

BAB III
Refleksi
Sebagai anggota Gereja Kristen Jawa, penulis merasa perlu mengungkapkan proses pergumulan Gereja Kristen Jawa dalam keterkaitannya antara iman dengan budaya Jawa.  Dalam sejarah awal kehadiran kekeristenan di pulau Jawa melalui para penginjil (utusan zending)  dari berbagai negara terutama Eropa, seperti dari Jerman dan Belanda, orang Jawa yang menjadi kristen diharuskan meninggalkan seluruh tradisi Jawa. Mereka tidak boleh mengenakan pakaian Jawa dan semua kebudayaan  Jawa yang di pandang  jelek atau buruk dan berbau sinkritisme. Situasi tersebut berlangsung cukup lama hingga gereja-gereja di Indonesia khususnya di tanah Jawa memiliki kemandirian teologia. Pergumulan ini dirasakan cukup lama oleh jemaat Gereja Kristen Jawa. Namun setelah  Gereja Kristen Jawa memiliki pokok-pokok ajaran gereja sebagai buah kemandirian teologia maka Gereja Kristen Jawa memiliki pandangan yang baru terhadap budaya Jawa. Gereja Kristen Jawa berkomitmen untuk melestarikan budaya Jawa.
Menurut Gereja Kristen Jawa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan manusia dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan yang paling moderen, meliputi segala kegiatan manusia, sistem nilai dan hasilnya. Kebudayaan meliputi pembuatan perkakas-perkakas dan cara-cara penggunaannya, bahasa dan adat-istiadat, agama dan kepercayaan, penetapan nilai-nilai dan pengubahannya, ilmu pengetahuan dan filsafat, serta aneka ragam keseniaan. Kebudayaan sebagai hasil cipta dan karya manusia dalam melaksanakan tugas kebudayaan yang diberikan Allah sejak penciptaan tidak terlepas dari cedera manusiawi. Oleh karena itu kebudayaan mengandung kelemahan dan penyimpangan. Sikap orang percaya terhadap kebudayaan adalah menghargai kebudayaan, bersikap kritis, dan memperbaiki kesalahan. Tujuannya adalah agar kebudayaan dapat dipulihkan arahnya bagi kemuliaan Tuhan dan penghargaan harkat hidup seluruh ciptaan[6]. Demikian juga di ungkapkan dalam tata gereja dan tata laksana GKJ bahwa dalam pelaksanaan Pemberitaan Penyelamatan Allah, Gereja dapat menerima budaya atau adat istiadat dengan prinsip trasmutasi makna yakni, mengeluarkan makna religius yang bertnggung jawab dengan injil dan memberi makna religius yang baru sesuai dengan injil.  
Berdasarkan pemahaman terhadap budaya seperti yang tertulis dalam pokok-pokok ajaran gereja dan GKJ tersebut, maka dalam hal ini  dapat ditarik kesimpulan bahwa GKJ sangat berkepentingan dalam merawat dan menjaga benda-benda pusaka atau tosan aji melalui ritual njamasan. Dalam hal ini Gereja Kristen Jawa memandang benda-benda pusaka atau tosan aji sebagai buah kebudayaan manusia yang perlu di lestarikan, bukan dari sudut pandang isotoris (kekuatan gaib/magis yang ada di dalam benda pusaka) melainkan  dari sudut pandang eksotoris (penghargaan terhadap seni budaya yang dapat dilihat dan dirasakan melalui panca indra kita).






[1] H.Karkono K.P “Kebudayaan Jawa Perpaduan Dengan Islam”, hal 215.
[2] Bambang Harsrinuksmo “Ensiklopedi Keris”,hal 321.
[3] Murtjipto “Fungsi dan Makna Siraman Pusaka”, hal 91.
[4] Ki Hudoyo.D “Keris, Daya Magic,Manfaat, Tuah, Misteri”, hal 62
[5] Bambang Harsrinuksmo “Ensiklopedi Keris”,hal 282.
[6] Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa.2005, hal 56-60.



semoga bermanfaat ya ^^
saya persilahkan apabila ingin memberi tanggapan maupun kritik 

Terimakasih



You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.