IMAN DAN PERASAAN

0 Comments

Intelektualitas/kecerdasan otak tidak lebih penting daripada perasaan karena perasaan justru memegang peranan /pengaruh yang dominan dalam sikap, reaksi dan tindakan yang dilakukan.
Hidup yang lebih menekankan Yang/intelektualitas/prinsip pria menjadi kurang peka, tidaklah demikian jika yang diutamakan Ying/perasaan/prinsip wanita maka dengan membiarkan perasaan ini muncul akan membangkitkan beragam motivasi dalam hidup sehingga membuat lebih bergairah dalam menjalani hidup, lebih jujur serta realistis dalam menyikapi situasi. Memang dalam hal ini akan menyebabkan timbulnya kesulitan (misal depresi/marah), tetapi melalui itu akan terjadi pengalaman mistik-religius yaitu pada saat terjalin persatuan afektif dengan Tuhan. Namun demikian memang dapat dikatakan bahwa agama apapun itu takut menghadapi perasaan-persaan. Persatuan dengan Tuhan adalah persatuan yang penuh afeksi, bukan intelektualitas.

Tuhan Yesus sendiri selama hidupnya juga menunjukkan bagaimana Dia mengungkapkan perasaanNya yaitu saat sedih, takut dan marah (menangis di makam Lazarus, berdoa di Getsemani, melihat perdagangan di Kenisah). Disini kita bisa melihat bahwa Kitab Suci ingin menyapa dan menggerakkan perasaan kita, sebab melalui hati, Allah berbicara dan menyapa, jadi betapa pentingnya peranan dalam diri kita. Dengan perasaan orang lebih dapat berekspresi, penuh pertimbangan untuk mengatakan tidak/ya, tidak dapat ditekan oleh orang lain. Tanpa perasaan hidup terasa lapar dan haus, tidak dapat memberi reaksi/menerima kenyataan yang terjadi serta orang-orang disekitarnya. Reaksi  terhadap perasaan tidak sama pada setiap orang, unik dan berbeda namun memiliki corak umum. Adapun perbedaan dan keunikan itu dipengaruhi oleh alam bawah sadar sebagai akibat pengalaman dari masa lampau. Reaksi perasaan lebih mudah dialami oleh wanita karena mereka memiliki intuisi/perasaan yang lebih kuat dari pada pria yang lebih mengandalkan otak/intelektualitas. Namun demikian sebenarnya keduanya adalah penting dan sama-sama dibutuhkan karena akan lebih baik jika reaksi perasaan kemudian juga disusul dengan reaksi otak. Perasaan adalah fakta yang tidak dapat disangkal, harus dialami, ibarat energi yang tercipta dari dalam diri sendiri. Sesuatu yang tidak boleh ditekan/disimpan supaya bisa mendapatkan ketenangan, tetapi dalam mengekspresikannya harus dengan sikap yang dewasa.

Untuk dapat mengendalikan perasaan dengan cara yang dewasa maka sangat penting untuk dapat mengenal perasaannya. Untuk dapat mengenali bagaimana persaannya memerlukan beberapa latihan yang dapat dipelajari secara bertahap setiap hari. Ada panduan buku yang dapat dilihat untuk melakukan latihan ini. Latihan-latihan yang dilakukan sangat penting untuk pertumbuhan kedewasaan dan sangat relevan bagi pembinaan hidup rohani. Sebagai pengikut Kristus seringkali perbuatan yang dilakukan tidak cocok dengan semangat Injil, entah sadar atau tidak egoisme selalu kuat menguasai, bahkan meskipun percaya pada kuasa dan pemeliharaanNya setiap saat namun kegelisahan akan hal-hal kecil sekalipun tetap menguasai. Jika sungguh-sungguh melihat kedalam diri maka akan banyak terungkap konflik perasaan. Dalam hal ini pikiran/reaksi otak dapat berperan untuk mengontrol perasaan, meskipun tidak selalu mudah dan berhasil, oleh karena itu harus tetap disertai mempercayakan diri terhadap cinta kasih Tuhan dan sesama.

Otak kita bagaikan gudang raksasa yang merekam dan menyimpan rangkaian peristiwa yang pernah kita alami dan suatu saat ingatan-igatan itu akan dibangkitkan kembali yang kesemuanya berkaitan dengan perasaan. Setelah ingatan muncul maka timbulah penilaian, yang menyebabkan rasa enak/tidak maupun sakit/gembira, yang mengenai urat saraf sehingga memberi signal ke otak dan akan diteruskan ke seluruh bagian tubuh hingga menimbulkan reaksi kimia yang disebut perasaan/emosi. Perasaan merupakan daya yang menggerakkan sehingga mampu merespon situasi disekitarnya, hal ini nanti akan sangat berpengaruh pada kondisi kejiwaan dan kesehatan seseorang jika perasaan/emosi tadi tidak diungkapkan, baik itu dalam bentuk gembira ataupun sedih.

Perasaan harus diungkapkan, banyak cara untuk mengungkapkan perasaan, antara lain doa, melalui ini kita bisa mengekspresikan rasa senang ataupun marah, karena Tuhan Maha baik dan bersedia mendengar semua ucapan syukur serta keluh kesah kita, sehingga dengan perasaan yang dapat diungkapkan ini maka kita akan sampai pada kesadaran kita, dimana nantinya otak akan dapat mengadakan penilaian atas perasaan kita. Setelah itu banyak kemungkinan sikap yang akan diambil, mungkin acuh tak acuh (represi), mengikuti, mulai bertanya. Hanya perbuatan yang dapat dinilai secara moral, sedangkan perasaan tidak, yang dapat dilakukan hanya menilai positif/negatif dari perasaan itu. Banyak menahan perasaan apalagi sejak masih muda dapat menghambat proses kedewasaan. Namun pengungkapannya juga harus bijaksana dan disiplin karena jika lepas kontrol akan membuat diri sebagai orang yang dangkal, kemudian dapat juga melalui pertimbangan sehingga dapat menjwab ya/tidak pada perasaan. Banyak cara untuk melatih diri mengungkapkan perasaan yang disajikan dalam buku panduan. Lebih baik jika memperhatikan cara bicara dan cara mendengar, hal ini akan dapat menyadari penyebab perasaan itu tanpa menyalahkan orang lain, karena perasaan tidak dapat dibenar salahkan ataupun dimintakan maaf, dinilai logis/tidak logis.

Sikap dalam mengontrol perasaan, antara lain ketenangan dan menilai perasaan secara dewasa, yaitu pertama menyadari kemudian menerima kenyataan. Dengan demikian dapat menjalankan tanggungjawab hidup yang harus dijalankan dan mencari waktu yang tepat untuk dapat melepaskan perasaannya, sehingga tidak ada yang dikorbankan karena perasaan yang sedang dialami tersebut.
Dengan menyadari perasaan kita dapat menangani perasaan sekaligus menangkap sesuatu tentang diri kita, karena perasaan mengungkapkan tentang kebutuhan, keinginan serta dambaan kita. Namun demikian perasaan tak pernah realistis sehingga reaksi otak penting untuk berperan juga.

Tidak seorangpun dapat langsung menyebabkan timbulnya emosi dalam diri kita, karena hal itu sudah ada tersimpan dalam struktur diri kita, sehingga kita juga tidak boleh menilai/mengadili reaksi emosional orang lain. Sikap yang mungkin timbul akibat perasaan kita, yang pertama supresi, yaitu sikap mengontrol perasaan dengan ketenangan dan menilainya secara dewasa, yang kedua adalah represi yaitu dengan menekan perasaan, seolah-olah baik-baik saja meskipun hatinya memberontak sehingga dapat menimbulkan banyak gangguan kesehatan, baik jasmani maupun rohani.
Kebutuhan mendasar manusia adalah kemampuan untuk mencintai diri sendiri meskipun hal ini tidak mudah untuk dilakukan, dan hati adalah lambang diri sendiri itu. Orang yang hidupnya dipenuhi keharusan cenderung menganggap dirinnya hina dan orang seperti ini mempunyai harga diri yang sakit dan menempatkan Tuhan bukan sebagai Abba melainkan sebagai pribadi yang selalu menuntut. Dalam hubungan dengan Tuhan setia, taat tetapi melakukan semuanya dengan terpaksa sebagai kewajiban dan tidak memberi kesempatan pada Tuhan untuk mengerjakan karya cinta kasihNya dalam hidup mereka.

Banyak orang yang mengaku diri mereka Kristen tetapi hatinya tidak dapat mempercayai bahwa Tuhan menciptakan mereka segambar dengan diriNya. Selalu merasa diri adalah sampah, meskipun tak seorangpun terlahir dengan harga diri yang jelek karena Tuhan menciptakan manusia secara baik dan harga diri yang utuh. Rasa harga diri yang rendah merupakan bentukkan masa lampau, yang dikemudian hari menimbulkan penilaian dan penafsiran yang salah tentang diri sendiri.
Mencintai diri sendiri agar dapat mencintai Tuhan adalah penyangkalan diri, akan tetapi kita tidak akan dapat menyangkal diri kalu kita belum sepenuhnya mengenal diri kita sendiri, belum mempunyai harga diri yang kuat, dan kita tidak akan menyerahkan diri pada Tuhan karena tidak tahu apa yang dapat diberikan. Oleh karena itu kita tidak akan mampumenyerahkan diri kalau belum mampu mengenal Tuhan dan mencinta diri kita.

Cinta diri dan egoisme merupakan dua hal yang berbeda, karena cinta diri berarti menerima diri apa adanya dengan segala kemampuan dan keterbatasan sedangkan egoisme adalah orang yang belum mempunyai aku dan terus menerus mencari aku, dan ini adalah penyakit.
Injil berlaku relevan sampai sekarang dan untuk dapat menghayatinya kita harus dapat mencintai diri terlebih dahulu. Adalah hak setiap orang untuk dicintai dan diperhatikan, dan jika kita tidak mempunyai harga diri, marilah mulai berusaha membangun rasa harga diri kita.
Langkah yang dapat dilakukan untuk membangun rasa cinta diri, yaitu menyadari dan menerima kenyataan diri apa adanya, kemudian mngontrol ungkapan diri dengan bahasa yang dapat mempengaruhi perasaan diri. Mulai menghargai tubuh sendiri, meneliti bakat diri, berdoa dan membiarkan cinta Tuhan menyapa, mengenang kisah-kisah cinta dalam kehidupan sendiri, hidup di masa sekarang, hentikan mengusahakan agar diri dicintai, jangan mengejar hal-hal yang tinggi kalau masih lapar dengan hal yang mendasar, dengan demikian iman merupakan relasi dengan Tuhan secara pribadi, jawaban kepada Tuhan secara pribadi serta penyerahan diri pada Tuhan secara bebas hingga terjalin persekutuan denganNya. Perasaan adalah tempat persekutuan dengan Tuhan, lewat sentuhan perasaan kita ungkapkan jawaban kita padaNya, dengan pertolongan akal budi kita dapat memahamiNya, meskipun hanya lewat perasaanlah kita dapat menjalin relasi denganNya. Perasaan harus diungkapkan secara dewasa sehingga kita menjadi manusia yang aktif dan dinamis, terus membina iman dan mencintai diri sebagaimana adanya sehingga dapat mencintai Tuhan. Selalu memandang diri berharga sebagai ciptaanNya dan karena itu merasa pantas diri adalah persembahan yang hidup yang berkenan dihadapanNya.







You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.