SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS BAGI ANAK-ANAK

0 Comments
(Resensi Buku Pak Aris)

SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS BAGI ANAK-ANAK
(Telaah Atas keikutsertaan Anak-anak Dalam Perjamuan Kudus)


Menarik kalau kita mengikuti pergumulan gereja sepanjang masa dalam kaitannya dengan pelaksanaan perjamuan kudus khususnya bagi anak-anak.
Bagaimana gereja menempatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus secara dinamis. Buku kecil karya Pen Widaryanto yang berjudul SAKRAMEN PERJAMUAN BAGI ANAK-ANAK membantu kita untuk dapat mengikuti pergumulan dan dinamika gereja-gereja dalam penerimaan perjamuan kudus anak.

Secara lebih khusus dilingkungan Gereja Kristen Jawa, melalui buku ini kita akan berdialog dan bergumul dalam kaitannya dengan Perjamuan Kudus bagi anak-anak dan kita pasti akan mendapatkan satu pencerahan melalui pembahasan dalam buku ini.
Dalam buku tersebut disampaikan bahwa kata sakramen hampir tidak ditemukan/dijumpai, jika ada itupun tidak mengandung nada religius. Istilah lain yang digunakan untuk sakramen adalah Perjamuan Kudus, sedangkan Gereja Katholik menyebutnya dengan misa/ekaristi. Perjamuan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus lebih menekankan kebersamaan semua lapisan, golongan masyarakat, tua, muda maupun anak-anak.

Sejak gereja perdana sampai masa Bapa-Bapa Gereja dan abad pertengahan, perbedaan pendapat/pandangan hal perjamuan kudus anak terus berlangsung dinamis. Perbedaan pandangan antara Thomas Aquinas dan Agustinus yang merupakan kedua tokoh gereja itu sampai hingga saat ini menjadi kiblat sekaligus gambaran pergumulan gereja dalam perjamuan kudus bagi anak. Agustinus mengijinkan sedangkan Thomas Aquinas tidak memperbolehkan. Baik Martin Luther, Calvin, John zwingli, tokoh-tokoh reformasi menekankan perlunya persiapan Khusus bagi setiap orang untuk dapat mengikuti perjamuan kudus,  termasuk bagaimana anak-anak dipersiapkan secara sungguh-sungguh agar layak menerima/ikut perjamuan kudus.

Penetapan perjamuan kudus dilingkungan GKJ dilandasi pada ajaran gereja dan gereja-gereja Gereformeerd di Belanda maupun berdasarkan katekismus Heidelberg sebagai hukum gereja yang dibawa dari para zending, dimana perjamuan kudus menjadi sarana suci yang hanya boleh diikuti oleh orang yang dipandang  sudah layak dan dewasa secara rohani, namun demikian sejak 1996 gereja memperbarui pemahaman tentang sakramen yang dipahami sebagai alat pemeliharaan iman tentunya bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak, oleh karena itu GKJ semakin membuka pintu bagi anak-anak untuk terpelihara imannya melalui perjamuan kudus.

GKJ mulai mengembangkan pelayanan sakramen perjamuan kudus bagi anak sebagai tanggung jawab gereja dalam pemeliharaan iman terhadap seluruh warganya. Tanggung jawab orang dewasa dan orang tua dalam ikut mempersiapkan dengan sungguh-sungguh anak-anak agar dapat mengikuti perjamuan kudus sebagaimana orang dewasa mempersiapkan secara khusus untuk mengikuti perjamuan kudus melalui pendadaran/pengujian diri. Frekuensi pelaksanaan perjmuan kudus tidak lagi 3 bulan sekali melainkan 2 bulan sekali, hal ini dalam kaitannya dengan pemeliharaan iman warga jemaat.

Resensi:
Dinamika pergumulan gereja dalam kaitannya dengan perjamuan kudus anak belum berakhir hingga saat ini. Tradisi gereja dan pemikiran Bapa-Bapa gereja terus menjadi pertimbangan-pertimbangan yang dipertahankan baik oleh mereka yang mendukung perjamuan kudus anak maupun yang tidak, sebab ketika satu tadisi dan pemikiran telah terhayati dan melekat dalam hidup bergereja hingga turun-temurun beberapa generasi, inilah yang membuat situasi menjadi rumit. Bagaimana memahami proses peralihan dan standard kelayakan seseorang untuk berhak menerima perjamuan kudus, jika standar kelayakan seseorang untuk berhak menerima perjamuan kudus. Jika standarnya adalah kesucian hidup bukankah anak-anak lebih banyak belum ternodai oleh perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Bukankah lebih banyak orang dewasa yang tercemar hidupnya oleh karena ketidak disiplinan hidup rohani mereka. Namun demikian jika standarnya adalah wawasan dan pengetahuan tentang iman kepada Kristus tentulah anak-anak belum mampu megerti dan memahami hal pengetahuan tentang hidup beriman itu. Dalam hal ini kita perlu dengan sadar mempersiapkan generasi yang  bisa membuka diri terhadap pemahaman dan tradisi baru yang membuka pintu bagi perjamuan kudus bagi anak-anak. Artinya semua pihak harus menyadari bahwa semua proses perubahan yang melibatkan anak masuk dalam perjamuan kudus tidak boleh saling memaksakan. Bagi yang setuju anak ikut dalam perjamuan kudus maupun yang tidak, sama-sama membuka proses dialog itu dalam semangat persekutuan dan kasih Kristus. Dengan demikian penghayatan terhadap makna perjamuan kudus yang dilakukan pada masa sekarang ini semakin lebih terarah pada pelaksanaan perjamuan kudus yang dilakukan dan diperintahkan oleh Kristus. Bagi kita sekarang ini yang terutama wacana dan pelaksanaan perjamuan kudus anak, mesti dilakukan melalui penyiapan dan sosialisasi yang sematang-matangnya, baik bagi warga dewasa maupun anak agar pelaksanaan perjamuan kudus semakin mempererat jalinan cinta kasih antar umat beriman dalam sebuah gereja. Dengan demikian bisa dan tidaknya umat menerima anak dalam perjamuan kudus dikembalikan kepada setiap gereja masing-masing sesuai dengan keberhasilan sosialisai dan pendekatan kepada seluruh jemaat.  





You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.